Zendagi Migzara: Hidup Terus Berjalan (dari The Kite Runner)

Hari itu dengan santainya seperti biasa kuperiksa notifikasi pengembalian buku-buku yang potensial. The Kite Runner, 46 detik yang lalu. Antrian pinjaman yang panjang menjadikan buku ini tidak begitu diharapkan, tetapi sangat sayang untuk diabaikan. Padahal biasanya terlambat 10 menit pun sudah tidak ada harapan. Tapi kali ini memang tidak biasanya. Kali ini memang sedang “sekebetulan” itu.

Ini tentang persaudaraan seorang keturunan Pashtun dan anak berdarah Hazara.

Aku ingat, dengan latar petang diceritakan Hassan yang bersemangat memburu layang-layang putus milik lawan yang berhasil mereka kalahkan. Ia berteriak pada Amir: untukmu, keseribu kalinya.

Kesetiaan Hassan pada Amir agha-nya memang tidak layak diragukan, pun tidak layak dipertanyakan.

Buku ini sungguh awalnya membuatku sangat ‘terluka’ dengan keputusan Amir menjauhkan Hassan, seorang teman sekaligus saudara tiri yang terlambat diketahui, dari hidupnya. Bagaimana mungkin menyuruh pergi orang yang hidupnya telah lama dijalani bersisian bersamamu? Orang yang berdampingan denganmu memenangi turnamen layang-layang. Orang yang setuju mengukir nama kalian berdua: Amir dan Hassan, Sultan-Sultan Kabul di pohon rindang dekat rumah.

Aku membentaknya. Kuharap dia membalasku saat itu juga, mendobrak kamarku dan memaki-maki diriku–itu akan membuat semuanya lebih mudah, lebih baik. Tapi dia tidak melakukannya…

Ke manapun aku berpaling, aku melihat tanda-tanda kesetiaannya, kesetiaan tanpa syarat keparatnya.

Ya, bagaimana mungkin? Jawabannya mungkin saja terjadi. Karena dalam beberapa situasi, jika seseorang yang menerima kebaikan dan kesetiaan sedemikian rupa tidak mampu membalas dengan hal yang sama, dan gagal untuk balas melindungi, itu bernilai siksaan, bahkan terasa berdosa. Begitulah Amir yang merasa menanggung beban seumur hidup. Dia bahkan melempari Hassan dengan buah delima dan menyuruh Hassan untuk membalasnya yang tentu saja tidak pernah terwujud. Karena frustrasi, akhirnya ia melakukan fitnah untuk mengakhiri semuanya. Amir remaja sungguh hanya ingin damai dari dosa dan lepas dari beban.

Aku menyesal, tetapi aku tidak menangis dan tidak mengejar mobil itu. Aku menyaksikan mobil Baba meninggalkan rumah kami, membawa serta seseorang yang kata pertamanya adalah namaku.

Sejujurnya cerita ini terasa begitu cepat mengalir. Pelarian keluar dari Kabul menuju Amerika, kejadian-kejadian yang menegaskan bahwa mereka–Amir dan Baba–benar-benar berjuang melanjutkan hidup di tanah asing, Soraya, pernikahan, sampai dengan terbongkarnya pengkhianatan di masa lalu.

Bertahun-tahun kemudian ketika Rahim Khan dalam sakit kerasnya membahas dosa masa lalu, aku merasa memahami Amir versi anak-anak saat itu.

“Dan kau selalu terlalu keras terhadap dirimu.”

Kesalahan yang dilakukan Amir adalah keputusan salah yang diambil oleh anak berusia belasan tahun. Kekacauan situasi masa lalu itu adalah hasil dari rumitnya logika dan perasaan anak yang saat itu belum dewasa.

“Aku ingat perkataannya padaku, ‘Rahim, seorang anak laki-laki yang tidak bisa membela dirinya sendiri akan menjadi pria yang tidak akan mampu bertahan terhadap apa pun.’ … Apakah kau telah menjadi pria macam itu?”

Aku berpikir bahwa Baba juga bisa menjadi penyebab semua hal menyedihkan yang terjadi setelah perpisahan Amir dan Hassan. Andaikan dia lebih menghargai dan mengakui Amir sebagai anaknya, mungkin bocah penikmat sastra itu tidak perlu mengemis pengakuan darinya dengan cara memenangi turnamen layang-layang. Andai kesalahan masa lalu Baba cepat terbuka dan ia membiarkan segalanya berjalan mengikuti takdir, bisa jadi Hassan tetap ikut merasakan segarnya Amerika alih-alih mati dengan tragis bersama istrinya.

Dan lagi-lagi aku akhirnya memahami situasi itu, konflik dalam diri Baba, ayah Amir dan Hassan. Tentu saja dia bisa menyembunyikan identitas Hassan yang menjadi anak tirinya karena nama dan kehormatan yang dia miliki. Cukup mengejutkan memang, tetapi dari penjelasan Rahim Khan, hal itu menjadi masuk akal.

“Yang dimiliki seorang pria pada masa itu, satu-satunya yang berarti, adalah kehormatannya, nama yang disandangnya, …”

Maka di usia 38 tahun Amir menyadari bahwa Baba-nya telah mencuri kebenaran darinya. Tentang hidupnya, tentang Hassan. Semua tentang nang dan namoos miliknya.

“Kita, bangsa Afghan, adalah orang-orang melankolis, bukankah begitu? Seringkali, kita berkubang terlalu lama dalam ghamkori dan mengasihani diri sendiri. Kita begitu mudah menyerah terhadap kehilangan, penderitaan, menerimanya sebagai bagian dalam kehidupan, bahkan menganggapnya sebagai kebutuhan. Zendagi migzara, itulah yang kita katakan, kehidupan terus berjalan.”

Pelan-pelan Amir menyadari bahwa seperti dirinya yang telah mengkhianati orang-orang yang sungguh setia hingga rela menukar hidup, Baba juga demikian. Pergulatan batinnya mengantarkan dia pada fakta bahwa Rahim Khan-lah yang sengaja memintanya untuk menebus dosa-dosanya dan dosa yang dilakukan Baba.

“Ada jalan untuk kembali menuju kebaikan.”

Momen kepulangannya sangat membekas karena Kabul digambarkan telah luluh-lantak karena peperangan. Pasukan Shourawi memang sudah mundur dari Afghanistan tetapi Taliban yang awalnya muncul sebagai penyelamat tidak menjadikan kondisi tanah air Amir lebih baik. Anak-anak yang kehilangan orangtua, atau jika ibu mereka masih ada pun panti asuhan menjadi tempat yang dituju karena sang ibu tidak sanggup melanjutkan perlindungannya pada mereka. Dari aku tidak akan lupa pada cerita tentang panti asuhan yang menerima donasi dan memberikan anak-anak kepada donatur tersebut sebagai balasannya.

Reruntuhan dan kemiskinan. … Hampir tidak ada pria dewasa menemani anak-anak itu–perang telah menjadikan ayah suatu komoditas yang langka di Afghanistan.

Polaroid berisikan wajah Hassan dan sosok kanak-kanak di sampingnya bernama Sohrab menemani Amir kembali ke Kabul. Ia sungguh-sungguh ingin menebus semuanya. Termasuk pertemuan kembali yang tidak terduga yang berdarah dengan Assef–antagonis paling menjijikan dalam cerita ini–yang menghancurkan wajah bahkan organ tubuh bagian dalam, aku yakin dia sungguh menyesal melepas Hassan dulu.

Penyesalan mendalam yang dirasakan Amir semakin terlihat ketika dalam putus asa dia menunaikan shalat yang diceritakan bahwa sudah selama 15 tahun ditinggalkannya.

Aku telah lama melupakan bacaannya. … Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Sekarang aku tahu bahwa Baba salah, Tuhan itu ada, selalu ada. Aku melihat-Nya di sini, dalam mata orang-orang yang ada di koridor keputusasaan ini.

Amir membawa Sohrab ke Amerika dengan keyakinan penuh bahwa itulah pembalasan terbaik untuk waktu yang tidak pernah dihabiskannya bersama Hassan.

Mengenai Sohrab, anak itu hidup dengan trauma hebat pada panti asuhan. Dan tentu saja trauma pada ‘janji untuk tidak ditinggalkan dan dikecewakan’. Melihat jalan hidupnya yang mengenaskan, aku bisa memahami ketika digambarkan bahwa dia tidak pernah tersenyum dan jarang berbicara. Hening. Tetapi keajaiban terjadi pada pertemuan warga Afghan di Lake Elizabeth Park di Fremont.

Saat itu Amir memainkan trik termasyur kesukaan Hassan saat menghadapi layang-layang musuh: angkat-dan-tukik. Sohrab ada di sampingnya dengan sudut mulutnya membentuk senyum.

Di belakang kami, orang-orang bersorak-sorai.

Sebuah senyuman. Hanya setengah. Tidak begitu terlihat. Namun ada.

“Kau ingin aku mengejar layang-layang itu untukmu?” Angin membelai rambutnya. Kurasa aku melihat anggukannya.

Untukmu, keseribu kalinya,” kudengar aku mengatakannya.

Bertahun-tahun setelah perpisahan mereka, Amir dan Hasan, kalimat itu baru bisa dibalaskan hari itu. Meskipun bukan kepada Hassan langsung, tetapi perdamaian Amir pada diri dan masa lalunya membuatku juga ingin mengatakan seperti apa yang dituliskan Rahim Khan pada kado ulang tahun dulu: Bravo!

Hanya sebuah senyuman, tidak lebih. Itu tidak membuat segalanya lebih baik. Tapi aku menerimanya. Dengan tangan terbuka.

Banyak sisi pahit dalam cerita yang untungnya berakhir terbuka dengan kemungkinan bahagia ini. Merangkum apa yang dirasakan Amir, tampaknya pintu kesempatan untuk bahagia dibuka langsung oleh Sohrab, meski dengan celah kecil. Dan bicara tentang kesempatan, izinkan aku untuk mengutip (lagi, dan terakhir) baris yang sangat kuat dalam karya Khaled Hosseini ini, yaitu ketika masa lalu Soraya dibenturkan dengan harga diri Amir dan bersinggungan dengan masa kecil yang saat diingat Amir yang katanya membuat dada terasa sesak dan udara terasa terbakar.

Tetapi, kupikir, alasan terbesar mengapa aku tidak memedulikan masa lalu Soraya adalah karena aku memiliki masa laluku sendiri. Aku tahu segalanya tentang penyesalan.

Amir menggambarkan untukku cerita tentang penyesalan, perbaikan, dan kesempatan. Bravo!