Zendagi Migzara: Hidup Terus Berjalan (dari The Kite Runner)

Hari itu dengan santainya seperti biasa kuperiksa notifikasi pengembalian buku-buku yang potensial. The Kite Runner, 46 detik yang lalu. Antrian pinjaman yang panjang menjadikan buku ini tidak begitu diharapkan, tetapi sangat sayang untuk diabaikan. Padahal biasanya terlambat 10 menit pun sudah tidak ada harapan. Tapi kali ini memang tidak biasanya. Kali ini memang sedang “sekebetulan” itu.

Ini tentang persaudaraan seorang keturunan Pashtun dan anak berdarah Hazara.

Aku ingat, dengan latar petang diceritakan Hassan yang bersemangat memburu layang-layang putus milik lawan yang berhasil mereka kalahkan. Ia berteriak pada Amir: untukmu, keseribu kalinya.

Kesetiaan Hassan pada Amir agha-nya memang tidak layak diragukan, pun tidak layak dipertanyakan.

Buku ini sungguh awalnya membuatku sangat ‘terluka’ dengan keputusan Amir menjauhkan Hassan, seorang teman sekaligus saudara tiri yang terlambat diketahui, dari hidupnya. Bagaimana mungkin menyuruh pergi orang yang hidupnya telah lama dijalani bersisian bersamamu? Orang yang berdampingan denganmu memenangi turnamen layang-layang. Orang yang setuju mengukir nama kalian berdua: Amir dan Hassan, Sultan-Sultan Kabul di pohon rindang dekat rumah.

Aku membentaknya. Kuharap dia membalasku saat itu juga, mendobrak kamarku dan memaki-maki diriku–itu akan membuat semuanya lebih mudah, lebih baik. Tapi dia tidak melakukannya…

Ke manapun aku berpaling, aku melihat tanda-tanda kesetiaannya, kesetiaan tanpa syarat keparatnya.

Ya, bagaimana mungkin? Jawabannya mungkin saja terjadi. Karena dalam beberapa situasi, jika seseorang yang menerima kebaikan dan kesetiaan sedemikian rupa tidak mampu membalas dengan hal yang sama, dan gagal untuk balas melindungi, itu bernilai siksaan, bahkan terasa berdosa. Begitulah Amir yang merasa menanggung beban seumur hidup. Dia bahkan melempari Hassan dengan buah delima dan menyuruh Hassan untuk membalasnya yang tentu saja tidak pernah terwujud. Karena frustrasi, akhirnya ia melakukan fitnah untuk mengakhiri semuanya. Amir remaja sungguh hanya ingin damai dari dosa dan lepas dari beban.

Aku menyesal, tetapi aku tidak menangis dan tidak mengejar mobil itu. Aku menyaksikan mobil Baba meninggalkan rumah kami, membawa serta seseorang yang kata pertamanya adalah namaku.

Sejujurnya cerita ini terasa begitu cepat mengalir. Pelarian keluar dari Kabul menuju Amerika, kejadian-kejadian yang menegaskan bahwa mereka–Amir dan Baba–benar-benar berjuang melanjutkan hidup di tanah asing, Soraya, pernikahan, sampai dengan terbongkarnya pengkhianatan di masa lalu.

Bertahun-tahun kemudian ketika Rahim Khan dalam sakit kerasnya membahas dosa masa lalu, aku merasa memahami Amir versi anak-anak saat itu.

“Dan kau selalu terlalu keras terhadap dirimu.”

Kesalahan yang dilakukan Amir adalah keputusan salah yang diambil oleh anak berusia belasan tahun. Kekacauan situasi masa lalu itu adalah hasil dari rumitnya logika dan perasaan anak yang saat itu belum dewasa.

“Aku ingat perkataannya padaku, ‘Rahim, seorang anak laki-laki yang tidak bisa membela dirinya sendiri akan menjadi pria yang tidak akan mampu bertahan terhadap apa pun.’ … Apakah kau telah menjadi pria macam itu?”

Aku berpikir bahwa Baba juga bisa menjadi penyebab semua hal menyedihkan yang terjadi setelah perpisahan Amir dan Hassan. Andaikan dia lebih menghargai dan mengakui Amir sebagai anaknya, mungkin bocah penikmat sastra itu tidak perlu mengemis pengakuan darinya dengan cara memenangi turnamen layang-layang. Andai kesalahan masa lalu Baba cepat terbuka dan ia membiarkan segalanya berjalan mengikuti takdir, bisa jadi Hassan tetap ikut merasakan segarnya Amerika alih-alih mati dengan tragis bersama istrinya.

Dan lagi-lagi aku akhirnya memahami situasi itu, konflik dalam diri Baba, ayah Amir dan Hassan. Tentu saja dia bisa menyembunyikan identitas Hassan yang menjadi anak tirinya karena nama dan kehormatan yang dia miliki. Cukup mengejutkan memang, tetapi dari penjelasan Rahim Khan, hal itu menjadi masuk akal.

“Yang dimiliki seorang pria pada masa itu, satu-satunya yang berarti, adalah kehormatannya, nama yang disandangnya, …”

Maka di usia 38 tahun Amir menyadari bahwa Baba-nya telah mencuri kebenaran darinya. Tentang hidupnya, tentang Hassan. Semua tentang nang dan namoos miliknya.

“Kita, bangsa Afghan, adalah orang-orang melankolis, bukankah begitu? Seringkali, kita berkubang terlalu lama dalam ghamkori dan mengasihani diri sendiri. Kita begitu mudah menyerah terhadap kehilangan, penderitaan, menerimanya sebagai bagian dalam kehidupan, bahkan menganggapnya sebagai kebutuhan. Zendagi migzara, itulah yang kita katakan, kehidupan terus berjalan.”

Pelan-pelan Amir menyadari bahwa seperti dirinya yang telah mengkhianati orang-orang yang sungguh setia hingga rela menukar hidup, Baba juga demikian. Pergulatan batinnya mengantarkan dia pada fakta bahwa Rahim Khan-lah yang sengaja memintanya untuk menebus dosa-dosanya dan dosa yang dilakukan Baba.

“Ada jalan untuk kembali menuju kebaikan.”

Momen kepulangannya sangat membekas karena Kabul digambarkan telah luluh-lantak karena peperangan. Pasukan Shourawi memang sudah mundur dari Afghanistan tetapi Taliban yang awalnya muncul sebagai penyelamat tidak menjadikan kondisi tanah air Amir lebih baik. Anak-anak yang kehilangan orangtua, atau jika ibu mereka masih ada pun panti asuhan menjadi tempat yang dituju karena sang ibu tidak sanggup melanjutkan perlindungannya pada mereka. Dari aku tidak akan lupa pada cerita tentang panti asuhan yang menerima donasi dan memberikan anak-anak kepada donatur tersebut sebagai balasannya.

Reruntuhan dan kemiskinan. … Hampir tidak ada pria dewasa menemani anak-anak itu–perang telah menjadikan ayah suatu komoditas yang langka di Afghanistan.

Polaroid berisikan wajah Hassan dan sosok kanak-kanak di sampingnya bernama Sohrab menemani Amir kembali ke Kabul. Ia sungguh-sungguh ingin menebus semuanya. Termasuk pertemuan kembali yang tidak terduga yang berdarah dengan Assef–antagonis paling menjijikan dalam cerita ini–yang menghancurkan wajah bahkan organ tubuh bagian dalam, aku yakin dia sungguh menyesal melepas Hassan dulu.

Penyesalan mendalam yang dirasakan Amir semakin terlihat ketika dalam putus asa dia menunaikan shalat yang diceritakan bahwa sudah selama 15 tahun ditinggalkannya.

Aku telah lama melupakan bacaannya. … Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Sekarang aku tahu bahwa Baba salah, Tuhan itu ada, selalu ada. Aku melihat-Nya di sini, dalam mata orang-orang yang ada di koridor keputusasaan ini.

Amir membawa Sohrab ke Amerika dengan keyakinan penuh bahwa itulah pembalasan terbaik untuk waktu yang tidak pernah dihabiskannya bersama Hassan.

Mengenai Sohrab, anak itu hidup dengan trauma hebat pada panti asuhan. Dan tentu saja trauma pada ‘janji untuk tidak ditinggalkan dan dikecewakan’. Melihat jalan hidupnya yang mengenaskan, aku bisa memahami ketika digambarkan bahwa dia tidak pernah tersenyum dan jarang berbicara. Hening. Tetapi keajaiban terjadi pada pertemuan warga Afghan di Lake Elizabeth Park di Fremont.

Saat itu Amir memainkan trik termasyur kesukaan Hassan saat menghadapi layang-layang musuh: angkat-dan-tukik. Sohrab ada di sampingnya dengan sudut mulutnya membentuk senyum.

Di belakang kami, orang-orang bersorak-sorai.

Sebuah senyuman. Hanya setengah. Tidak begitu terlihat. Namun ada.

“Kau ingin aku mengejar layang-layang itu untukmu?” Angin membelai rambutnya. Kurasa aku melihat anggukannya.

Untukmu, keseribu kalinya,” kudengar aku mengatakannya.

Bertahun-tahun setelah perpisahan mereka, Amir dan Hasan, kalimat itu baru bisa dibalaskan hari itu. Meskipun bukan kepada Hassan langsung, tetapi perdamaian Amir pada diri dan masa lalunya membuatku juga ingin mengatakan seperti apa yang dituliskan Rahim Khan pada kado ulang tahun dulu: Bravo!

Hanya sebuah senyuman, tidak lebih. Itu tidak membuat segalanya lebih baik. Tapi aku menerimanya. Dengan tangan terbuka.

Banyak sisi pahit dalam cerita yang untungnya berakhir terbuka dengan kemungkinan bahagia ini. Merangkum apa yang dirasakan Amir, tampaknya pintu kesempatan untuk bahagia dibuka langsung oleh Sohrab, meski dengan celah kecil. Dan bicara tentang kesempatan, izinkan aku untuk mengutip (lagi, dan terakhir) baris yang sangat kuat dalam karya Khaled Hosseini ini, yaitu ketika masa lalu Soraya dibenturkan dengan harga diri Amir dan bersinggungan dengan masa kecil yang saat diingat Amir yang katanya membuat dada terasa sesak dan udara terasa terbakar.

Tetapi, kupikir, alasan terbesar mengapa aku tidak memedulikan masa lalu Soraya adalah karena aku memiliki masa laluku sendiri. Aku tahu segalanya tentang penyesalan.

Amir menggambarkan untukku cerita tentang penyesalan, perbaikan, dan kesempatan. Bravo!

Lembar-Lembar Harapan

Ping!
[Dito udah masuk ruangan.]

Tangannya yang menyemat peniti terhenti. Ini pukul 7.30 sesuai surat panggilan itu. Ia memeriksa layar. Terbaca berderet ucapan dukungan. Dua menit, layar menghitam. Pemiliknya terdiam.

Ia meraih tas. Didekapnya sebundel kertas. Pagar berderit dan sinar menyentuh wajah sayunya. Tangannya dimasukkan ke saku celana.

Lembar-lembar itu siap.

Di kiri jalan sepasang suami-istri duduk bersila dengan tangan terbuka. Lembar pertama selesai.

Satu meter berjalan, seorang buta duduk memegang wadah plastik. Lembar kedua selesai. Di sudut emperan, seseorang meringis. Ia memegangi perut. “Kak, belum makan Kak…” Lembar ketiga selesai.

Tubuh kecil meringkuk di atas koran. Kaleng penyok dipeluknya. Lembar keempat selesai.

Pedagang tisu tua melantunkan shalawat. Lembar terakhir miliknya selesai.

_______

 

Ia membuka pintu. Di tempat yang sama, ia duduk.

Sejenak ia menoleh ke kursi yang akan kosong hari ini, mungkin besok, dan entah sampai kapan.

“Mar, bagian gua udah selesai kan?”

“Iya, To, iya.”

“Oke, sekarang tugas lain menunggu. Dah.”

[Dengan gerakannya berhimpun, dia menggerakkan tangan.
Melalui lembar-lembar harapan, aku juga menggerakkan tangan.
Karena terlampau lelah berharap pada yang seharusnya bergerak.]

[Tapi haknya sudah direnggut. Tidak bisa bersuara.
Tinggallah mereka yang berharap lembar itu terus datang.
Tinggallah mereka yang nasibnya tidak kunjung berganti.]

“Mar. Dosen.” Fia berbisik.

Ia menutup catatannya.

Tentang Kepo

Siang tadi saya janjian dengan teman. Ceritanya itu saya meminjam bukunya beberapa hari lalu. Maka hari ini, dihantui oleh bayang-bayang kuis besok hari, saya memutuskan mengembalikan buku itu. Empunya pasti harus belajar malam ini. Janjian, janjian, dan akhirnya saya menyuruhnya diam saja di kosan. Saya yang akan datang mengembalikan karena sayalah pelakunya. Nanti malam saja, begitu kata saya. Karena setelah maghrib saya tidak akan bisa. Dia setuju.

Tapi pada akhirnya dia bertanya juga, memangnya ada acara apa? Kepo nih.

Kepo amat deeeh.
Pengen tau aja atau pengen tau banget?
Betulin urusan sendiri dulu, baru ngurus orang lain.

Banyak yang bisa dijawab dari kata-kata kepo. Banyak tanggapan yang bisa dikatakan supaya orang lain tidak lagi kepo. Banyak. Banyak.

Tapi apa itu ada gunanya? Apakah kepo selamanya karena ingin mengurus kepentingan orang lain?

Saya jadi ingat kalimat-kalimatnya Bu Sri. Ini betulan tentang kepo. Entahlah, waktu itu beliau mengalami langsung sebuah peristiwa atau memang sedang menyoroti fenomena risih saat dikepoin.

Kepo itu, kata beliau, sebetulnya cara untuk peduli pada orang lain. Kepo menjadi tanda bahwa yang bertanya ingin tahu tentang orang yang ditanya. Dengan kata lain, kepo adalah bukti perhatian. Jadi jangan malu menjadi orang yang kepo dengan keadaan orang lain. Pun sama nasehatnya, jangan cepat risih atau merasa enggan menjelaskan saat orang lain kepo tentang kita.

Oya, teringat juga saya tentang kutipan dari novel Tere Liye. Ini tentang seseorang yang sering dimarahi. Dalam kutipan itu, orang yang dimarahi akan mencari saat momen-momen galak orang itu sudah hilang. Orang yang tadinya jengkel saat dimarahi bisa-bisa berbalik mencari marah yang dulu dibencinya. Itu karena dia merasa terbiasa.

Hati-hati menilai buruk pada orang yang kepo. Bisa jadi besok, lusa, minggu depan, berganti tahun, kita malah merindukan dikepoin karena mereka yang dulu kepo diusir jauh-jauh.

Kepo (knowing every particular object) adalah bentuk perhatian. Tentunya dengan kadar yang sesuai, ya 🙂

Tentang Rumah

Kemarin saya datang tepat waktu di kelas Botani Umum. Sungguhan tepat karena Bu Dosen kami sudah ada di depan, duduk menghadap laptop yang siap disambungkan ke proyektor. Satu orang sedang tampil di depan memimpin doa. Tapi sebelum berdoa, ada pengantar yang dikatakan.

Ini masalah rantau. Masalah orangtua. Masalah bakti. Masalah kuliah.

Apa saya selalu menyapa orangtua sebelum kuliah? Apa saya sering bercerita tentang pengalaman seharian? Apa saya selalu inisiatif menelepon sebelum tidur?

Dua puluh empat jam hidup ini sekarang jauh dari rumah. Jika bisa disebut rantau, pertanyaannnya adalah apakah rantau telah menjadikan saya asing bagi Mamak dan Bapak? Mendoakan-yang visa jadi kegiatan paling mudah-pun jarang dilakukan. Sibuk. Entah untuk apa.

Jadi ingat rumah. Jadi ingat teh dan biskuit di atas meja lipat. Jadi ingat dapur yang ada suara Mamak goreng lele.

Lima menit sebelum Botani Umum kemarin memang sendu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Namanya Afif. Sebenarnya tidal penting

Epilog untuk Awal Musim

Nama saya Ummu, sulung dari dua bersaudara. Setahun lalu waktu baru tiba di Bogor saya bingung dengan nama Agronomi dan Hortikultura atau yang disingkat AGH. Setahun lalu juga saya terheran-heran dengan jargon Feed the World miliknya. Tapi dari berita yang beredar (tentunya bukan hoax), semua itu akan jelas pada waktunya. Akhirnya di sinilah saya. Masa pengenalan departemen yang disingkat MPD—mengingat IPB penuh dengan singkatan—memang bisa disebut ospek. Bedanya ada pada jadwal kegiatan. Ini bentuknya rangkaian yang jika dilihat sekilas di timeline ada satu kata yang melintas cepat: melelahkan.

Sebetulnya ini akan cenderung bersifat curhatan alih-alih cerita pendek. Sebab banyak bagian dari kegiatan ini yang sayang untuk dirasakan sendiri, sayang dibiarkan terlupa. Harus dibagi, diceritakan. Misalnya saja, maaf ya kakak-kakak, ini tentang komdis. Ya, kepanjangannya adalah komisi disiplin. Jika dalam setiap cerita harus ada konflik yang penting fungsinya, begitu juga golongan orang di sini. Komdis membuat hidup kegiatan. Ini pandangan sepihak, sih, jadi siapa saja yang tidak setuju silakan saja.

Cerita lain juga tentang para caretaker. Apa sebutannya di acara ini? Penanggung jawab kelompok dan disingkat menjadi PJK. Kakak asuh, kakak pendamping, dan sederet nama lainnya. Ini posisi yang paling adem dalam kegiatan. Itu karena perannya yang seperti protagonis. Tapi baik tidak sembarang baik karena di posisi ini orang-orangnya akan sibuk. Namanya juga pengasuh, pembimbing, pastilah bertanggung jawab atas gerak-gerik peserta yang dipantau oleh seluruh panitia, khususnya komdis.

Bagian lain dari cerita ini tentunya tentang posisi medis. Medis? Kalau sakit dalam barisan, sebelum acara, kapan saja merasa tidak sehat, hubungi medis. Obat ada di sana termasuk tempat istirahat dari lelahnya berdiri mendengar evaluasi dari komdis yang panjang kali lebar durasinya. Pusing, keseleo, sakit perut, apa saja keluhannya memang dibawa ke medis. Tapi yang tidak bisa disembuhkan adalah penyakit tidak peduli pada sesama. Kalau itu, sih, harus kita sendiri yang membereskan.

Cerita ini juga tentang Reynoso, kelompok kecil seperti keluarga dalam rangkaian Pembinaan Himagron yang seperti sebuah negara dengan peraturan-peraturan yang mengikat siapa saja yang terlibat di dalamnya. Demi lancarnya kehidupan kami berempat belas, dipilih satu ketua. Supaya semangat melangkah, dibuat jargon dan yel-yel. Agar acara yang hampir semuanya dimulai pagi bisa diikuti dengan baik, sarapan seragam selalu kolektif dibeli. Sampai hari ini semuanya bisa dilakukan sesuai peraturan negara karena setiap orang dalam keluarga ini kerja sama.

Sayangnya, sebentar lagi rangkaian acara harus diakhiri bersama satu kegiatan puncak yang dinanti: Lintas Desa. Berat, berat, menantang. Itu kesan yang saya tangkap dari penjelasan sana-sini. Tapi bukan berarti saya takut. Satu dari kakak PJK bahkan bilang bahwa apapun yang terjadi, hidup harus berjalan. Wah, apa saya terlihat begitu takut?

Tidak, tidak ada rasa takut menghadapi Lintas Desa. Ini hanya menegangkan. Karena setelah itu tidak ada lagi rangkaian kegiatan Pembinaan Himagron yang harus diikuti. Itu berarti kami selesai dibina. Dengan kata lain, musim baru akan tiba. Maka untuk menunggu Sabtu saat Lintas Desa dilaksanakan, baiknya sih ada cerita yang ditulis tentang acara dan momen yang sudah tertinggal jauh di belakang.

Field Day 2017

Tanam-tanam ubi…

Itu sepenggal kecil lagu dari kartun milik tetangga sebelah. Tanam ubi, itulah yang dilakukan seratus lebih orang di Kebun Leuwikopo, Dramaga, Bogor. Orang sebanyak itu dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil yang jumlahnya delapan belas. Sejatinya ini adalah salah satu rangkaian kegiatan Pembinaan Himagron. Tapi kenyataannya kegiatan ini juga diikuti oleh orang dari luar AGH. Yang terdekat yaitu dari PTN (Proteksi Tanaman)—jurusan yang juga ada di fakultas hijau kami—dan  yang paling jauh datang dari UNB (Universitas Nusa Bangsa) dengan tim yang anggotanya berbeda-beda jurusan. Selagi lelahnya masih tersisa dan suasananya masih terasa, kegiatan ini harus cepat-cepat diabadikan di sini.

Jebret
Jebret
Jebret
Dua juta

Jargon ini bukan dibuat oleh panitia acara melainkan oleh pesertanya. Silakan bayangkan sendiri gayanya karena mudah dicocokkan dengan gerakan apapun.

 

Awalnya menurut tebak-tebakan, saya berpikir ini sama seperti beberapa rangkaian acara Pembinaan Himagron lain, registrasi akan dibuka jam enam tepat. Ternyata lebih cepat setengah jam. Okelah, toh kos saya dekaaat dengan pintu kampus, dekat juga dengan titik kumpul pagi itu. Sayangnya, hari itu banyak yang terlambat. Kabar baiknya adalah mereka tidak dimakan komdis.

Selesai registrasi, seperti biasa pemeriksaan perlengkapan dilakukan. Tidak ribet, kok. Payung, makanan ringan, air minum, dan sebagainya. Itu sudah biasa. Sama biasanya dengan ada yang tidak membawa pin nama lagi. Tunggu, lagi? Iya, alasannya ketinggalan karena buru-buru. Fortunately, komdis tidak selera merebus mereka. Cuma sedikiiit omelan dicampur bawang goreng.

Komdis adalah singkatan dari komisi disiplin. Setiap anak baru  tingkat manapun yang pernah mencicipi ospek pasti mengenal mereka. Itulah segolongan orang yang kedatangannya dibuka dengan keheningan dan kepergiannya ditutup dengan embusan napas lega. Mereka tidak bungkuk saat berjalan dan tidak menunduk saat bicara. Satu-satunya yang bisa memaksa kapan harus makan dan kapan harus minum. Bahkan mereka bisa mengatur kapan harus tertawa. Sekilas, penokohan yang melekat pada mereka adalah antagonis. Meski begitu, karena langka dilihat, senyum komdis sering dicari.

 

Mobilisasi dilakukan kemudian. Tujuannya adalah Kebun Leuwikopo. Pemandunya adalah panitia yang sudah ahli melakukan perjalanan ini. Buktinya, waktu tempuh yang biasanya setengah jam bisa dihemat menjadi kurang dari lima belas menit. Mungkin itu untuk memicu rasa lapar.

 

Pembukaan FD Phoenix

Nah, ini dia pembukaan Field Day. Yang kiri adalah ketua pelaksana acara ini sedangkan yang kanan adalah ketua pelaksana rangkaian kegiatan kami. Bingung? Silakan cari pegangan.

 

 

 

Pembukaan FD Phoenix - cara menanam.jpg

Sebelum praktek ada teori. Kedua kakak ini sedang menjelaskan tata cara menanam ubi dari awal sampai akhir.

 

 

Reynoso dalam Field Day ini lengkap formasinya. Tentunya sudah bertambah setelah mendapat teman baru dari jurusan tetangga. Ini adalah acara kedua sejak jumlah kami menjadi empat belas orang. Awalnya pembagian tugasnya agak jelas. Akhirnya setelah melihat lahan, garpu, cangkul, dan bibit, semua ingin merasa dan mencoba.

Ada lahan 5×5 meter, 2 garpu, 4 cangkul, 1 penyiram tanaman, dan seikat bibit ubi, dan sekarung pupuk kandang. Tidak ada yang diam. Tidak juga ada perbedaan pada perempuan dan laki-laki dalam kuasa memegang cangkul. Awalnya menggali parit, kemudian tanah galian ditinggikan ke kanan-kirinya untuk dibuat bedengan. Lalu dicampur dengan pupuk kandang. Disirami, ditanami, lalu disirami lagi.

“He, hati-hati menyiram, memangnya sini ubi?”

“Iya, ubi, soalnya sama-sama manis.”

“Waaah, makasih, makasih.”

“Tapi bau tanah.”

 

Gombalan ini kok berujung mengerikan, ya?

 

Bertani tidak pernah mudah. Kita tidak bisa asal timbun sambil berharap tanaman cepat beradaptasi dan menghasilkan apa yang kita inginkan. Contohnya waktu menanam bibit-bibit ubi, trik-triknya harus dipahami. Bibit yang ada dicabuti daun-daunnya sehingga tersisa hanya dua atau tiga daun. Mencabutnya pun harus sempurna supaya ruas-ruas yang awalnya tempat tumbuh cabang bisa ditempati para umbi. Jangan juga terlalu panjang menyisakan batang karena bisa berakibat umbi terlalu banyak. Intinya, kita sebagai manusia harus memperhatikan dengan baik hak asasi tanaman.

 

Menurut panduan yang diberikan, waktu panen akan tiba tiga bulan sejak penanaman. Menunggu tidak bisa sekadar duduk menghitung hari di kalendar. Karena ini bentuknya lomba antarkelompok, perawatan sebagai fase menunggu juga masuk dalam kriteria penilaian. Mencabut gulma, menyiram tanaman, dan sederet perhatian penuh pada tanaman ubi harus konsisten diberikan. Meskipun iming-iming hadiah dua juta ada, tujuan utama acara ini adalah belajar menanam ubi.

Hak asasi tanaman yaitu sesuatu yang harus diberikan manusia pada tanaman. Salah satunya adalah memperhatikan bentuknya. Manusia tidak bisa hidup seenaknya, menanam dengan sepuasnya tanpa mengerti kondisi tanaman. Tanaman memiliki energi untuk didistribusikan ke seluruh bagian tubuhnya. Semakin banyak organ maka semakin banyak energi yang harus disebar. Baiknya adalah kita mengatur supaya buah itu tidak terlalu banyak sehingga bisa besar dan subur.

 

Selesai acara, mobilisasi kembali dilakukan menuju tempat registrasi tadi pagi. Ini bisa jadi mobilisasi satu-satunya yang tidak diikuti tatapan dingin komdis. Bisa jadi saat itu para komdis sedang merenung tentang betapa dinginnya tatapan yang diberikan selama ini. Bisa juga sedang memikirkan jenis tatapan apa yang akan lebih menertibkan langkah-langkah kami. Atau justru sedang menyamar di antara semak, pohon, dan bak air di kebun tadi dan mengawasi? Entahlah. Ini menguntungkan. Susah juga kalau harus dimarah-marahi lepas kerja berat mencangkul tanah.

Ada-tidaknya komdis, PJK (penanggung jawab kelompok) selalu jadi yang terbaik. Bukan karena rajin menawarkan “refill air, refill air”, tapi karena cuma mereka yang posisinya sebagai kakak asuh. Di Reynoso, ada satu bagian yang setengah menjelma jadi PJK, yaitu medis. Sarapan bersama, ikut mencangkul, menanam, dan berfoto. Di tengah keakraban peserta-medis-PJK dan keseruan menanam ubi, hanya komdis yang tidak bergabung di tengah kami. Aduh, sayangnya.

Mahasiswa IPB, Ini Dia Daftar Beasiswa yang Wajib Dicoba!

Bicara tentang beasiswa, tentunya mahasiswa saling berlomba-lomba mendapatkannya. Bukan cuma maba atau mahasiswa baru, tetapi tingkat senior kampus juga bisa memilih banyak beasiswa yang datang silih berganti setiap tahunnya. Nah, simak yuk tips berikut supaya langkahmu lancar meraih beasiswa!

Cek Timeline
Batas pendaftaran tiap beasiswa tentu berbeda-beda. Nah, penting banget lho memperhatikan timeline beasiswa incaranmu! Dengan begitu, kamu bisa memperkirakan waktu untuk mengurus berkas-berkas pendaftaran.

Dokumen Wajib
Secara umum, semua beasiswa selalu meminta beberapa dokumen yang sama seperti Kartu Tanda Mahasiswa dan transkrip nilai. Berkas wajib ini lebih baik kamu persiapkan jauh sebelum pembukaan pendaftaran beasiswa. Nanti ketika pengumuman pembukaan sudah keluar, syutt! langkahmu bisa lebih jauh daripada pendaftar lain, dan kamu siap mengurus berkas selanjutnya.

Durasi Pengurusan Administrasi
Ini dia hal yang juga menjadi masalah bagi pendaftar beasiswa. Jangan lupa, kamu harus memahami lama waktu pengurusan berkas di sekretariat jurusanmu. Dengan begitu, kamu bisa memperkirakan waktu untuk mengumpulkan berkas pendaftaran.

Tips terakhir yaitu harus mencoba!

Untuk kamu mahasiswa IPB, yuk cek kalendar! Berikut ini daftar beasiswa yang bisa kamu coba! Karena ini hanya informasi secara umum, jangan lupa ikuti terus informasi beasiswa yang dituju, ya!

JANUARI

Alumni IPB Peduli Pendidikan    |    semester 1-8    | –

Cargill Global Scholars Program    |    semester 4    |    IPK ≥3.00

Lotte Foundation    |    semester 4-7    |    IPK ≥2.80

Tanoto Foundation    |    semester 1-8    |    IPK ≥3.00

FEBRUARI

Karya Salemba Empat    |    semester 2-8    |    –

Paragon (prestasi)    |    semester 4 dan 6    |    IPK ≥3.30

Paragon (tugas akhir)    |    semester 8    |    IPK ≥3.00

MARET

Bank Indonesia    |    semester 4-6    |    IPK ≥3.50

Genksi Social Fund    |    semester 2-6    |    IPK ≥2.75

Pembangunan Jaya    |    semester 4 dan 6    |    IPK ≥3.30

Dharma Polimetal    |    semester 3-8    |    IPK ≥3.00

Van Deventer-Maas Stichting (VDMS)    |    semester 3-8    |    IPK ≥3.00

APRIL

MEI

Beasiswa Pemprov Jawa Barat    |    semester 1-7    |    –

JUNI

JULI

Beasiswa Unggulan Nusantara Cerdas    |    semester 3    |    IPK ≥3.00

Yayasan Korindo    |    semester 3-7    |    IPK ≥3.00

AGUSTUS

BCA Finance Peduli    |    semester 2-8    |    IPK ≥3.00

Yayasan Marga Pembangunan Jaya    |    semester 5-7    |    IPK ≥3.30

Beasiswa Baznas    |    semester 5-7    |    IPK ≥3.25

SEPTEMBER

Bakti BCA    |    semester 5    |    –

Mitsubishi Corporation International Scholarship    |    semester 3-7    | IPK ≥2.75

PT. Indocement Tunggal Prakarsa    |    semester 3    |    IPK ≥2.80

Peningkatan Prestasi Akademik (PPA)    |    semester 3-8    |    IPK ≥3.00

Women International Club    |    semester 6    |    IPK ≥3.15

Yayasan Toyota Astra    |    semester 5 dan 7    |    IPK ≥3.00

OKTOBER

Charoen Pokphand    |    semester 1-7    |    IPK ≥3.00

Beasiswa Pemprov Jawa Barat     |    semester 1-7    |    –

PT. Bank KEB Indonesia    |    semester 7-9    |    IPK ≥3.00

Yayasan Salim    |    semester 1-7    |    IPK ≥2.80

 

NOVEMBER

Beasiswa Inisiatif Zakat Indonesia    |    semester 3 atau 5    |    IPK ≥2.75

DESEMBER

Arga Citra    |    semester 1    |    –

Charoen Pokphand    |    semester 1-7    |    IPK ≥3.00

Goodwill International    |    semester 3-5    |    –

◊ Catatan ◊

Pelamar beasiswa yang masih semester 1 biasanya menggunakan fotokopi nilai laporan belajar SMA untuk mengganti nilai IPK.

Beberapa beasiswa di atas tidak tercantum minimum IPK. Itu bisa karena nilai IPK tidak menjadi syarat atau pihak pemberi beasiswa tidak memberi informasi tentang itu.

Sumber:
http://beasiswaipb.blogspot.co.id/
http://www.indbeasiswa.com/2015/11/beasiswa-kuliah-s1-cargill-global-scholars.html

Jaka Tarub & Dewi Nawang Wulan (Part I)

Have you ever watched a drama? It must be a quite enjoyful experience because we can see the actor directly. May be it’s just my reason, you can find another one. Over all, a drama is lovable art.

Besides watching drama, i like to have a role in drama. I like being another person, hehe. But one day when i was in senior high school, instead of took a role, i said that i will create a script for my team. The problem was the language. Because it was for our English lesson, we have to had it in that. What did i do? Of course i looked for it in a lot of blogs. The second problem was the number of people in my team! How could it match perfectly with the script in those blogs? Finally, i found the way: modify.

I got the script from here. I read it. Then i thought, what kind of problem that i can set to the story? I also thought about adding some role so that everyone in my team can play.

This is it.

♦♦♦

Jaka Tarub & Dewi Nawang Wulan
A Visit to The Earth

 

Once upon a time, there was a young man named Jaka Tarub. Jaka Tarub was a very handsome man. He lived in the middle of the forest with his mother, Randa Dhadapan. There was also a lake named Toyawening Lake.

Meanwhile, far upon the earth, there was the sky emperor, where the fairies lived. That place led by a king. That king had seven beautiful daughters. They usually down to the earth to take a bath.                                     

 

♦ Scene 1 ♦

Ningrum: “Very hot here, my sisters!”

Sekar: “Then let us go to the lake! Swimming!”

Putri: “Hm. I want to sing there.”

Arum: “Yeah! Talk to mother please, Asri!”

Asri: “Okay. Everybody follow me!”

(They give their greeting to The King and The Queen)

Asri: “We are going to ask your permission to go to the lake, Mom. It’s very hot here.”

The Queen: “Do you bring everything you need?”

The Seven Angels: “Yes, Mom!”

The Queen: “Are you sure? Why didn’t I see your powder? Comb? Hair dryer?”

Lintang: “Oh Mom, can’t you remember we are a fairy? We have this magic from you, Mom.”

The Queen: “Oh I see. Sorry for that. You have a duty to look after Nawang Wulan because this is the first time for she to go to the lake. Okay gals, you can go!”

(The seven angels cheer, then say bye!)

 

♦ Scene 2 ♦

(They arrive at the lake)

Asri: “Okay, everyone follows the rules! No fishing, no crying here, no eat. Go put your shawl on that rock, and enjoy!”

Wulan: “Wow I will enjoy this!”

(They talk and laugh each other, play joyfully)

 

In the same time around the lake, there was Jaka Tarub. He was tired of chasing the prey. When almost at the lake, Jaka Tarub stopped his footsteps. He heard the sound of the girls who were laughing.

Jaka: “Maybe it was just my imagination.” (He moves toward the lake slowly) “Hei, but the sound very clear to me.”
(Jaka is surprised)
“Oh my God, am I dreaming? I found seven beautiful girl here! Oh I hope one of them will be mine. Hmm… wait! What is that?” (He steals a yellow shawl) “After this, one of them couldn’t go to Kayangan, then she will be my wife! Yeah!”

(A few moments later)

Asri: “My sisters, I think we must go home now!”

Sekar: “But it’s too fast!”

Arum: “Yeah! I love to play here! I feel at home.”Ningrum : “Yeah! Me too!”

Asri: “Mother said that we must stay home before twilight, and she would be very worried about Wulan.”

Lintang: “Yeah, she loves her more than she love us!”

Putri: “If it were true, i would want to be like her.”

(Then, they are get ready)

Wulan: “Sister, wait me a minute, please!”

Sekar: “What are we waiting for?”

Wulan: “My shawl! I placed it here before we take a bath.” (Looking for something)

Lintang: “Huh, you waste our time. Come on every one, let’s go home!”

Wulan: “Wait, i lost my shawl.”

Asri: “Don’t lie!”

Wulan: “I’m sure it placed somewhere. I’m not lying.”

Putri: “Asri, we’re going to help her to find it, aren’t we?”

Wulan: “I put it here, besides Ningrum shawl.”

Ningrum: “Don’t give me that look! I didn’t see yours.”

Arum: “Then how can she come back? We must help her, Putri.”

 

When everyone was busy to look for the shawl, one of the fairy realised that the sky getting dark.

 

[to be continued]
Jaka Tarub and Dewi Nawang Wulan: A New Home

 


And the source is…
https://englishmotivator.wordpress.com/2011/02/12/text-of-english-drama/

Di Gedung Kita

Wajahmu cerah saat menyapaku di pintu
Kaubilang ini hari istimewa kita
Kaubilang sudah berdandan yang hebat
Kau ciptakan potret terbaik, bersamaku

Kata orang ini wisuda
Pelepasan siswa, begitu kata mereka
Batas akhir sebuah kebersamaan
Putih abu-abu yang penuh kenangan

Apakah sebuah prosesi 240 menit cukup bagi kita
Sebagai pemuas rindu, pengganti semua waktu yang hilang?
Bahkan jika itu sehari semalam lamanya
Adakah hal hebat yang bisa kita tempuh?

Kata orang ini wisuda
Pelepasan siswa, begitu kata mereka
Perpisahan adalah hal yang nyata
Meski seerat-eratnya genggaman kita

Acara ini usai, dan
Ratusan foto sudah diabadikan
Anak dan orangtua pulang bergandengan

Pada gedung yang sudah ditinggalkan kini,
Kursi-kursi yang disusun rapi,
Lantai yang kembali bersih tapi sepi,
Panggung yang tinggal sendiri,
Pendingin ruangan yang menebar sunyi,
Aku melambaikan tangan
Bayangmu bersama 29 lainnya juga melambaikan tangan

Jalanku bisa jadi sepi
Dan bahumu, jauh untuk diraih
Tapi sampai nanti, jangan pergi dari hati
Tiga tahun kita hebat dan kaulah pelangi

 

24-04-2016
Setelah acara pelepasan siswa MAN 7 Jakarta

Mataku Melihatnya

 

Sinar putih kekuningan sang mentari sudah tiba di jendela kamar. Suara kesibukan terdengar di sudut-sudut gedung ini. Satu jam lagi kuliah pagi dimulai. Aku bergegas meraih kacamata, memperbaiki posisinya di pangkal hidung. Tidak lama kemudian menyapa satpam di pintu depan lalu duduk menunggu di sofa panjang sambil menikmati sarapan.

ooo

 

Jam tangan kulit yang mengkilat. Keren kau ya!

            Sekelompok orang yang duduk melingkar sedang bercakap-cakap. Suara tawanya terdengar dari sini, delapan meter jaraknya. Sepertinya salah satu di antara mereka telah membeli barang itu dari toko online. Diskon akhir tahun. Sama seperti beberapa orang yang berlalu-lalang tadi. Pergelangan tangan yang mengkilat diterpa cahaya matahari.

Wih, keren juga gaya hijabnya!

            Aku mengarahkan pandangan pada tiga orang gadis yang baru saja melewatiku. Dengan motifnya yang unik ditambah modelnya yang tidak biasa, salah satu di antara mereka tampak cerah. Mereka berjalan menuju pintu samping. Tiga orang yang berpakaian senada dengan orang itu berdiri menunggu. Berbincang sebentar lalu keenamnya berbaris acak dan memberi senyum indah. Mungkin ada lima foto dengan bermacam gaya.

Sepatu baru! Kenalan dong!

            Sepasang manusia berbincang ringan dari arah kiriku. Yang laki-laki berusaha menginjak kaki kiri orang disebelahnya—seakan berkenalan—dengan usilnya. Yang berusaha diinjak justru berhenti, cemberut. Entahlah itu tanda jengkel atau merajuk.

“Heee, pagi-pagi bengong aja!” Alfa duduk di sebelahku sambil menepuk bahu.

Aku menoleh padanya.

“Coba itu makanan diperhatiin. Ada lalatnya tuh.”

Aku diam.

“Dan ini… coba dilepas. Biar gak kebanyakan liatin orang. Punya orang diperhatiin, tapi roti sendiri dibiarin berlalat. Iuh.” Alfa menarik lepas kacamataku.

“Eh, apaan sih. Mau kuliah nih.” Kacamata di genggamannya berusaha kuraih.

“Rabun jauh itu bagus buatmu, deh, Mar,” Ia berdiri menarik tanganku, “biar gak fokus sama kelebihan orang dan sadar dengan apa yang kamu punya.”

Aku meraih tasku.

“Jangan lupa buang rotimu, tuh. Dilalatin.”