Mataku Melihatnya

 

Sinar putih kekuningan sang mentari sudah tiba di jendela kamar. Suara kesibukan terdengar di sudut-sudut gedung ini. Satu jam lagi kuliah pagi dimulai. Aku bergegas meraih kacamata, memperbaiki posisinya di pangkal hidung. Tidak lama kemudian menyapa satpam di pintu depan lalu duduk menunggu di sofa panjang sambil menikmati sarapan.

ooo

 

Jam tangan kulit yang mengkilat. Keren kau ya!

            Sekelompok orang yang duduk melingkar sedang bercakap-cakap. Suara tawanya terdengar dari sini, delapan meter jaraknya. Sepertinya salah satu di antara mereka telah membeli barang itu dari toko online. Diskon akhir tahun. Sama seperti beberapa orang yang berlalu-lalang tadi. Pergelangan tangan yang mengkilat diterpa cahaya matahari.

Wih, keren juga gaya hijabnya!

            Aku mengarahkan pandangan pada tiga orang gadis yang baru saja melewatiku. Dengan motifnya yang unik ditambah modelnya yang tidak biasa, salah satu di antara mereka tampak cerah. Mereka berjalan menuju pintu samping. Tiga orang yang berpakaian senada dengan orang itu berdiri menunggu. Berbincang sebentar lalu keenamnya berbaris acak dan memberi senyum indah. Mungkin ada lima foto dengan bermacam gaya.

Sepatu baru! Kenalan dong!

            Sepasang manusia berbincang ringan dari arah kiriku. Yang laki-laki berusaha menginjak kaki kiri orang disebelahnya—seakan berkenalan—dengan usilnya. Yang berusaha diinjak justru berhenti, cemberut. Entahlah itu tanda jengkel atau merajuk.

“Heee, pagi-pagi bengong aja!” Alfa duduk di sebelahku sambil menepuk bahu.

Aku menoleh padanya.

“Coba itu makanan diperhatiin. Ada lalatnya tuh.”

Aku diam.

“Dan ini… coba dilepas. Biar gak kebanyakan liatin orang. Punya orang diperhatiin, tapi roti sendiri dibiarin berlalat. Iuh.” Alfa menarik lepas kacamataku.

“Eh, apaan sih. Mau kuliah nih.” Kacamata di genggamannya berusaha kuraih.

“Rabun jauh itu bagus buatmu, deh, Mar,” Ia berdiri menarik tanganku, “biar gak fokus sama kelebihan orang dan sadar dengan apa yang kamu punya.”

Aku meraih tasku.

“Jangan lupa buang rotimu, tuh. Dilalatin.”

 

Tinggalkan komentar