Tabung Reaksi dalam Hati (Bagian Akhir)

Kulihat pinggiran tabung reaksi itu pecah menyisakan lengkungan kecil di sana. Aku tidak tahu mana pecahannya. Kulihat dalam wastafel, kuperiksa lantai di bawahnya, atau mungkin menempel di tanganku? Tidak kutemukan. Aku mulai panik. Tidak, tidak, aku panik sejak tadi. Sekarang bahkan semakin panik!

“Mar, larutan ini jangan dipindah.” Agung berkata padaku dan meletakkan sesuatu di dekatku.

“Hm, ya.” Aku menolehnya sekilas lalu kembali menatap tabung tadi yang sudah kusimpan rapi. Tabung itu berjejer bersama tabung lain yang “normal”. Jika dilihat sejauh ini tidak terlihat sama sekali bekas pecah di mulut tabung. Aku memutuskan melupakannya.

Bukankah tadi tidak ada pecahannya di manapun? Aku bahkan tidak tahu apakah itu benar-benar pecah karenaku. Aku, kan, tidak mungkin mempertanggungjawabkan apa yang belum tentu kulakukan! Aku melirik sekitar yang terus sibuk mengerjakan perhitungan asam basa lalu berjalan perlahan menuju tempat Nofi berdiri.

“Mar, tadi apa yang jatuh?” Pertanyaan Nofi membuatku tertegun. Lama dia menunggu dan aku belum merespon.

Satu menit, aku menyesali kejadian itu. Dua menit, aku bingung apakah benar aku yang memecahkannya. Tiga menit, aku takut harus mengganti dengan yang baru. Menit-menit berikutnya penuh kepanikan. Okelah, aku yang membuatnya jatuh. Mungkin karena tanganku licin. Tapi hanya menjatuhkan, kok, sungguh!

“Em.. itu, tabung reaksi yang habis dipakai Agung… eh, kamu, Nof.”

“Oh begitu. Kenapa tidak kamu ganti?”

Kedua kalinya, pertanyaan Nofi membuatku tertegun. Aku juga terkejut dia bisa tahu tabung reaksi itu pecah.

“Apa?”

“Kaubilang ‘apa’? Kau pasti tahu apa maksudku!” Suaranya meninggi dengan wajah yang memerah. Hei, mengapa ia menjadi begini?

“Kenapa harus menggantinya, Nof? Aku, kan, tidak sengaja. Lagi pula aku tidak sampai membuatnya hancur.”

“Ha! Begitulah jahatmu! Memangnya kaupikir hanya alasan hancur kau harus menggantinya, hah? Pikir, Mar, pikir! Bahkan dengan pecahan sekecil itu kamu sudah mengubahnya. Kamu tahu artinya? Tabung reaksi itu tidak seperti semula.”

“Apa katamu? Omong kosong, Nofi! Aku hanya mengubahnya sedikit! Dan jangan kamu keraskan suaramu, bisa-bisa seisi laboratorium ini menuduhku.”

“Janganlah takut dituduh, Mar, karena kamu benar-benar orang yang harus bertanggung jawab!”

Asisten praktikum kami yang berdiri tidak jauh dari Nofi menoleh ke arahku dan Nofi. Mungkin karena ia mendengar kata tanggung jawab. Ia berjalan menuju tempatku berdiri.

“Ada apa, mengapa ribut di sini?” Aku bertambah panik begitu mendengar pertanyaan yang berpotensi mengusir seperti itu.

“Dia, Kak, salah satu mahasiswa pengejar IPK tinggi ini memecahkan itu.” Nofi menunjuk tabung reaksi yang sudah rapi dalam raknya.

“Saya tadi tidak sengaja, Kak. Pecahannya tidak bisa saya temukan. Mungkin memang sudah pecah dari awal.”

Kakak Asisten terdiam mendengarku. Dibetulkannya kerudung biru miliknya lalu menarik napas dalam. “Kamu… kamu pikir saya bisa percaya dengan kata-katamu? Bahkan kamu masih menggunakan kata ‘mungkin’. Kamu bahkan tidak yakin orang lain yang memecahkannya, bukan?”

“Iya, Kak, dia hanya beralasan. Ah, mahasiswa macam apa yang hanya mengejar nilai di atas kertas, ya?” Novi mencondongkan wajahnya ke arahku. “Orang yang hanya mementingkan nilai-nilai adalah orang yang egois! Kamu pikir kejujuran tidak penting? Kamu pikir bisa melenggang pergi dengan tenang bila tabung reaksi di sana itu meringkuk dalam hatimu?”

“Omong kosong semua nilai jika kamu tidak mementingkan integritas, Mar. Kamu akan jadi sampah. Dan kamu tahu, kan, seperti apa sampah itu? Tidak berguna.”

Kakak Asisten terkejut mendengar ucapan Nofi. Terlebih aku yang menjadi sasarannya, hatiku hancur. Merasa tidak cukup, Nofi melanjutkan kalimatnya.

“Kamu sudah mengeluh padaku tentang nilai Kimiamu yang seperti ini.” Nofi membuka telapak tangan kanannya menunjukkan angka lima, “apakah sikapmu akan seperti ini juga, Mar? Bernilai jelek? Kamu adalah orang paling payah yang pernah kukenal jika kamu lari dari tanggung jawab. Pun jika nilaimu sudah A nanti, memangnya kenapa? Hei peraih nilai A, apakah kamu tidak malu sudah pernah bersembunyi dari tanggung jawab?”

Aku tepekur memahami kalimat Nofi yang memenuhi kepalaku. Kata-katanya menyayat nilai Kimiaku juga hatiku yang rapuh. Ingin rasanya semua kembali seperti semula. Ingin rasanya tangan ini memutar mesin waktu, mengembalikan waktu ke dua jam yang lalu saat aku beranjak dari duduk menuju wastafel. Atau mengulang tadi pagi, mungkin aku bisa izin ke toilet agar lebih lambat menuju laboratorium, dengan begitu peristiwa ini bisa bergeser sehingga tidak pernah terjadi. Bisa juga kuputar menuju waktu tiga bulan lalu, mungkin aku bisa menolak kampus ini, dengan begitu aku tidak akan mengalami ini. Aku juga bisa mengatur agar tidak lahir di tahun 1998, dengan begitu aku tidak akan ada di sini. Tapi itu semua pengandaian yang tidak bisa terwujud. Aku menghela napas panjang. Bukan karena mahal, melainkan karena menyadari betapa kikir dan menyedihkannya diriku. Ternyata selain tidak pandai Kimia aku juga tidak berakhlak baik.

Puk! Nofi memukul bahuku pelan.

“Kenapa kamu malah melamun?” Wajahnya bingung, “wajahmu berubah menjadi sedih, memangnya tadi apa yang jatuh?”

Aku segera tersadar dari lamunanku. Kuberikan senyum yang lebar padanya tanda terima kasih telah bertanya. Kusuruh ia minggir.

“Permisi dululah, Nof, aku harus bicara dengan Kakak Asisten.”

“Hei, memangnya apa yang terjadi?” Pertanyaan Nofi tidak sempat kujawab. Aku berbalik mengambil tabung reaksi tadi lalu berjalan ke arah Nofi kembali, lurus lagi, dan melewatinya. Meskipun dengan wajah yang menuntut penjelasan, ia tetap diam melihatku melaluinya.

Kulihat Kakak Asisten sedang menulis sesuatu di papan tulis kecil. Kuhampiri ia dengan perlahan.

“Kak… maaf saya baru saja menjatuhkan tabung reaksi,” suaraku menciut, “jadinya begini, pecah ini-nya, Kak.” Aku menunjuk pinggiran tabung reaksi. Jika saja Kakak Asisten fokus pada tanganku, ia pasti melihat jari telunjukku gemetar tidak terkendali.

Kakak Asisten menatapku dan menjawab datar, “Saya sarankan kamu tanyakan ini pada Bapak Penjaga Laboratorium yang sedang duduk itu.” Ia menunjuk seorang bapak yang duduk berbincang dengan petugas kebersihan. Bapak itu duduk bersila di atas kursi di luar sana.

Dengan memantapkan hati, aku berjalan. Tabung reaksi harganya tidak akan melebihi biaya makan dalam sehari, kan? Pastilah begitu!

Ya, tidak akan semahal itu. Kalaupun mahal, bukankah itu salahmu juga, kan? Terima saja, masalah selesai.

Kau benar, ini akan cepat selesai. Aku rela, kok, beli lagi. Ini saja aku sedang berjalan mengakui kesalahan. Aku tidak akan malu lagi.

Ah, Sang Nurani memang paling bisa diandalkan. Ia memang menyalahkanku. Lalu mau apa? Aku memang salah. Kulihat bapak yang dimaksud oleh Kakak Asisten heran melihatku datang mendekat. Aku mengumpulkan nyali untuk mulai bicara.

“Pak, ini pecah ini-nya saya jatuhkan tadi,” kata-kataku tidak karuan.

Aku memperlihatkan tabung reaksi tadi, “Harus diganti, Pak?”

Beliau mengamati dengan cepat dan menyimpulkan sesuatu di luar dugaanku, “Letakkan saja kembali.”

Eh tunggu, apa maksudnya?

“Pak, tidak perlukah diganti?”

“Tidak usahlah, itu masih bisa digunakan.” Jawaban singkat yang begitu menarik!

Aku segera pamit dengan baik dan berterima kasih. Aku balik badan lalu tersenyum-senyum sendiri. Rasanya senyum ini yang paling lebar selama aku hidup. Aku seperti mendapat hadiah yang indah, paling indah sekaligus lucu. Kubuka pintu laboratorium dan meletakkan tabung reaksi kembali pada raknya. Lucu juga, sih. Bagaimana bisa tadi aku berpikir untuk melarikan diri? Bisa jadi hidupku tidak tenang setiap kali memasuki laboratorium Kimia. Aku mungkin akan takut sekali menyentuh tabung reaksi. Lalu yang terburuk adalah tabung reaksi itu bersemayam di otakku, menghantui hatiku, dan ujungnya membuatku sulit bernapas.

Aku lega. Hatiku cerah tidak lagi terisi perasaan yang tercampur aduk seperti beberapa menit yang lalu. Tangan ini terasa ringan.

“Mar, bagaimana?”

“Ya begitulah, Nof.”

Bagiku peristiwa ini adalah pembuktian. Aku telah menunjukkan, entah pada diriku sendiri atau pada siapalah-itu bahwa aku telah memiliki kategori. Kawan, tahukah kamu kategori mahasiswa apa yang kupilih? Aku baru saja menjadi mahasiswa dengan kategori jujur. Aku bahagia.

Orang-orang cerdas memang harus diperbanyak, tetapi jangan pernah lupa menjadi orang jujur, Kawan. Aku bicara begini sebab aku telah merasakannya. Baru saja!

Semester ini aku harus mengejar ketertinggalanku, harus memperbanyak jam belajarku. Namun kejujuran tidak bisa diganggu keberadaannya, bukan?

Rasanya ingin aku bicara dengan tabung reaksi itu, mengajaknya tertawa sebentar. Aku bahagia sekali hari ini.

Tamat


Tabung Reaksi dalam Hati dibuat karena ada lomba dalam IIF 2016 yang diselenggarakan oleh LDK Alhurriyah IPB 😀 Cerita ini diikutsertakan dalam kategori cerpen. Motivasi karya yang sebenarnya adalaaaah supaya penulis bisa ingat terus peristiwa hidupnya. Mumpung pelajaran di baliknya sangat berharga 🙂

2 pemikiran pada “Tabung Reaksi dalam Hati (Bagian Akhir)

Tinggalkan komentar