Di Gedung Kita

Wajahmu cerah saat menyapaku di pintu
Kaubilang ini hari istimewa kita
Kaubilang sudah berdandan yang hebat
Kau ciptakan potret terbaik, bersamaku

Kata orang ini wisuda
Pelepasan siswa, begitu kata mereka
Batas akhir sebuah kebersamaan
Putih abu-abu yang penuh kenangan

Apakah sebuah prosesi 240 menit cukup bagi kita
Sebagai pemuas rindu, pengganti semua waktu yang hilang?
Bahkan jika itu sehari semalam lamanya
Adakah hal hebat yang bisa kita tempuh?

Kata orang ini wisuda
Pelepasan siswa, begitu kata mereka
Perpisahan adalah hal yang nyata
Meski seerat-eratnya genggaman kita

Acara ini usai, dan
Ratusan foto sudah diabadikan
Anak dan orangtua pulang bergandengan

Pada gedung yang sudah ditinggalkan kini,
Kursi-kursi yang disusun rapi,
Lantai yang kembali bersih tapi sepi,
Panggung yang tinggal sendiri,
Pendingin ruangan yang menebar sunyi,
Aku melambaikan tangan
Bayangmu bersama 29 lainnya juga melambaikan tangan

Jalanku bisa jadi sepi
Dan bahumu, jauh untuk diraih
Tapi sampai nanti, jangan pergi dari hati
Tiga tahun kita hebat dan kaulah pelangi

 

24-04-2016
Setelah acara pelepasan siswa MAN 7 Jakarta

Kita dan Kota Petir

Ini jam sepuluh malam di salah satu jalan ramai di Kota Belimbing. Entah itu ramai karena ini hari Sabtu dan besok masih akhir pekan atau memang jalanan ini tidak pernah sepi. Dua jam lagi tengah malam dan jalan di depan bahkan macet. Bahkan motor yang bianya mudah terselip di mana-mana sekarang harus sabar menunggu gilirannya melintas, bergantian dengan kendaraan dari arah berlawanan.

Jika mengikuti julukan yang entah dari mana datangnya, kota ini bisa disebut sebagai Kota Petir. Tidak perlu takut sungguhan petir sering menghantui karena sekarang hujan pun tidak deras, hanya sanggup membuat basah tisu yang dibentangkan di atas tempat duduk di motor. Tidak perlu takut juga karena ini sudah lewat satu jam setelah jam malam asrama yang biasa diberlakukan. Inilah waktu liburan ketika tidak ada yang membuat khawatir, utamanya jam malam.

Selagi masih tersisa sekitar seminggu lagi bulan Ramadhan, hari ini diadakan buka bersama dengan teman lama. Mereka adalah puluhan orang yang selama hampir tiga tahun lamanya pernah menanggung malu, bersusah-payah, membandel, dan bersenang-senang bersama. Orang-orang yang ditemui delapan jam tiap hari dan lima hari dalam seminggu. Mereka yang satu kelas dan satu seragam, satu tugas dan satu guru. Malam ini diberi judul buka puasa bersama, satu yang tampak berbeda di antara kita: masa depan.

Ini bukan bicara tentang indah atau kaburnya jalan yang ditempuh masing-masing kita. Seperti kata seorang guru sebelum kita diusir dari sekolah, kehidupan di madrasah kita akan berbeda dengan kehidupan setelahnya. Jalan kita akan berbeda, seperti yang terjadi pada setiap kita dan pemikiran di dalamnya.

Tujuh hari yang akan datang adalah hari yang fitri karena itu adalah hari kemenangan. Rasanya diri ini jauh dari predikat itu: menang. Melihat kalian seperti melihat mimpi-mimpi sendiri yang masih tertulis dalam daftar seratus impian yang terlipat di dalam dompet. Tapi menghadiri kebersamaan kita seperti menuangkan keruh dalam perjalanan meraih mimpi sebab tiba-tiba timbul rasa takut kehilangan. Jika begini, bisakah kemenangan diraih menghadapi dunia?

Ini yang keempat dan pasti bukan yang terakhir. Entah yang kelima akan diadakan di rumah siapa dan kapan, itu tidak bisa ditebak dan belum bisa didiskusikan. Yang menakutkan bukanlah berhentinya kita bertemu melainkan berhentinya kita saling mengenal dan peduli. Terasa menyeramkan ketika membayangkan kehilangan kalian.

Di jalan pulang menuju rumah, sinar lampu jalan yang jingga menambah keruh hati. Barisan toko-toko di Jalan Raya Tanah Baru seperti menatap menyalahkan. Apakah di sisa waktu penghabisan Ramadhan diri ini mampu menjadi pemenang? Di sisi lain kedatangan dalam acara kita adalah karena ingin bertemu, takut kehilangan, dan khawatir berpisah?

Dunia ini begitu berat. Rumit pula terasa. Salahkan saja hati ini yang terlalu lebar terbuka dan sangat kaya dalam perbendaharaan rasa. Salahkan pula kota ini yang terlalu lekat dalam ingatan. Dan terakhir, salahkan cinta yang diberikan asal-asalan, tidak pada Sang Pemiliknya.

 

Jika di dunia ada ketakutan akan kehilangan, bisakah diraih kemenangan atas dunia?

Yang Tersimpan

Apa yang terjadi jika aku dan kamu masing-masing menyimpan banyak memori di satu tempat? Galau? Bukan, maksudku, bagaimana sulitnya menyimpan semua itu? Apakah kita menjadi manusia lemot yag lebih kaku dari robot? Hohoho. Mungkin tidak sampai seperti itu. Tapi rasanya penuh. Lelah?

Setiap melihat sebuah komputer atau handphone aku berpikir. Rasanya aku ingin bertanya langsung pada mereka satu per satu (ini bukan efek menyimpan memori terlalu banyak 😛 ). Sungguh, rasanya ingin bertanya. Memori yang ada pada mereka, sebesar itu kapasitasnya, beratkah? Memangnya tidak mumet?

Isi memori mereka mungkin lebih banyak tugas presentasi atau makalah empunya. Tapi bagaimana dengan foto-foto? Tugas berupa makalah, kan, jelas, sangat berguna sampai kapan pun. Jadi bahan belajar. Bagaimana dengan koleksi foto-foto kenangan? Ya, foto kenangan yang bejibun, yang dimasukkan dalam jumlah besar, ribuan, lalu dibiarkan membisu di folder yang jarang sekali diziarahi. Aduh!

Aku seperti ingin menyapa memori mereka. Hai, memori komputer, apa kabar? Karena aku kasihan dengan beban berat mereka menyimpan foto-foto kenangan yang bahkan empunya sudah lupa di mana letaknya. Dalam hati, aku menyapa memori komputerku sendiri. Sudah panjang lebar kuceritakan macam-macam orang yang menelantarkan memorinya. Sedihnya, aku agaknya termasuk dalam salah satu golongan tadi. Menziarahi kenangan hanya sesekali. Aduduh!

Banyak sekali foto-foto yang kusimpan. Apalagi Gefant. Banyak karena satu objek punya banyak foto. Maksudku pemandangan sama, objek sama, itu diambil berkali-kali. Membereskannya (baca: menyeleksinya) seperti memilih baju di toko. Harus betul-betul dibandingkan. Ambil yang terbaik. Hai memori, ini kulakukan untuk mengurangi beban kerjamu 🙂 . Baik, kan?

Soal memilih, mungkin aku lambat. Bukan orang yang cus! Ini saja nih! Seakin banyak fotonya, semakin lama, semakin bingung, dan semakin pusinglah aku. Ayolah, demi memori supaya bisa move on. Eh, salah itu! Demi memori yang berat kerjanya, ayo!

Susah memang memilih foto terbaik. Aku akhirnya selesai. Kata siapa itulah yang terbaik? Ya buktinya aku memilihnya 🙂

Inilah beberapa foto-foto itu.

final_bstSnapshot_663741

UN udah di (depan) monitor. Bukan di depan mata, Kawan. Itu terlalu dekat. Tidak baik.

 

 

 

 

 

IMG-20150225-WA0005

Gefant2 Voice siap tempur

 

 

 

 

 

IMG-20140328-WA0007

Padahal belum siap. Hei balik lagi, ini yang terbaik!

 

 

 

 

 

IMG-20151028-WA0010.jpg

Sekilas dia tidaklah sakit. Karena wajahnya membuat dunia teralih.

 

 

 

 

 

IMG-20150116-WA0005

Jauh-jauh dari Jepang, jadi kita sambut dengan meriah. Welcome?

 

 

 

 

 

IMG-20150302-WA0045.jpg

Sudah pernah lihat gaya kuncup? Inilah kuncup!

 

 

 

 

 

IMG-20150116-WA0013.jpg

Betulan datang dari Jepang! Jadi disambut dengan meriaaaah.

 

 

 

Terakhir, meski bukan yang terbaik dalam album.
Saat semua kecuali piket sudah pulang.
Saat waktunya matahari sore menembus celah di jendela, seperti biasa.
Di ujung sana ada “our future”. Melihat satu foto ini saja membuat semua foto-foto di albumku beterbangan dari monitor.

Eh… mungkin lebay.

 

Maksudku, melihat ini saja membuatku rindu semuanya.

 

 

 

 

IMG-20150316-WA0004.jpg

Pojok lantai dua (ini pinjam hp Milla 🙂 )

Jadi, hari ini aku membereskan memori komputerku. Kasihan dia, lelah sekali menyimpan banyak foto. Aku sekaligus mengunjungi kenangan-kenangan. Mereka juga kasihan, lama tidak kusapa.

Sekarang aku bertanya padamu. Berapa foto-foto yang kau simpan di memori? Berapa lama sudah kau simpan mereka di sana? Apakah hanya kau simpan-simpan untuk yaaa mau disimpan ajah! atau untuk disimpan dan dikenang?

Kalau dikenang, jangan diabaikan! Sapa mereka, tanya kabarnya, dan pastikan tersimpan baik. Bukankah foto dibuat agar abadi?

Aku sering mendengar orang-orang bilang ingin mengabadikan peristiwa.

Dualapan : Tempat Kita Bertemu

Hari ini entah H+berapa setelah wisuda, aku tidak menghitungnya. Berapa pun itu, rasanya baru sebentar. Seperti baru saja berfoto bersamamu dengan kerudung dua warna yang seragam.

Di mana kauletakkan album itu? Di tempat khususkah atau biasa saja? Kau tahu? Belakangan ini aku rindu. Album itu kubuka lagi, kali ini dari halaman belakang. Aku mencari lagu yang dulu sering kaunyanyikan.
.
.
.
Di MAN 7 tempat kita bertemu
‘Ku tak tahu siapa dirimu
Lambat laun berputar roda waktu
Pada akhirnya kaulah temanku

 


 

 

 Sekolah Tetap Sekolah

Di ruangan yang luas itu kita dikumpulkan. Barisan laki-laki paling depan, diikuti barisan yang meskipun belum mengenal satu sama lain, tetap saja lebih gaduh: barisan yang mengenakan kerudung 🙂 . Walaupun hari itu belumlah saatnya ospek, barisan panitia begitu lengkap tampaknya. Dengan name tag dikalungkan di leher, mereka berbagi tugas. Ada yang masuk-keluar ruangan berlari-lari kecil, ada yang mengurusi konsumsi, ada pula yang hanya berdiri tegak dengan pandangan yang menyapu seisi ruangan.

Lima belas menit yang lalu acara itu dibuka. Dua dari panitia yang sibuk itu menjadi pembawa acara. Mempersilakan beberapa orang untuk menyampaikan sambutan. Karena baru pertama kali berhadapan dan bertemu dengan kita maka semua isi sambutan itu tentang selamat datang. Yaa, apalagi yang harus disampaikan?

Hari itu di antara banyaknya sambutan tentang welcome to this school, ada satu sambutan yang kuingat. Sederhana, mengungkit tentang pilihan sekolah.

Hari itu, aku sadar betul di mana aku akan menggunakan waktuku selama tiga tahun.

Testimoni Masa Kini

Beberapa waktu lalu aku disuruh membuat testimoni oleh kakak tutor di tempat bimbelku dulu. Kenapa? Karena lolos ujian, begitu kira-kira. Aku berpikir lamaaa sebelum mengiyakan. Bukan karena tempatnya yang jauh (tapi betulan jauh sih 😦 ). Pikiranku malah mempermasalahkan isi testimoni itu hahaha. Apa yang nanti akan kusampaikan? Terima kasih? Sudah pasti iya. Apa lagi?
“Pokoknya mantap deh kalo di sini!”
“Ayo belajar di sini, mudah paham deh!”
Bagaimana jika nanti ada yang mengeluh dan menyalahkan testimoni itu?

Sebenarnya ada testimoni yang lebih berarti.

◊◊◊

Ujian nasional sudah selesai. Saatnya bersiap untuk seleksi perguruan tinggi. Tempat-tempat bimbel mulai menawarkan diri. Ada satu yang meskipun jauh, harganya cukup terjangkau. Maka itu jadilah pilihan beberapa di antara kami. Bersembilan.

Sulit juga meyakinkan diri. Aku tahu, untuk ke sana tiap hari terlalu jauh dan mahal dengan angkot. Bagaimana dengan nebeng? Bukannya sudah biasa? Iya, biasa, tapi tidak mungkin menggantungkan diri setiap hari, kan?

Ternyata aku lebih sering nebeng. Yaiyalah! 😛

Satu hari, satu jam sebelum les dimulai, dia bilang akan menjemput seperti biasa. Baiklah, aku tunggu. Lagipula biasanya kami berangkat setengah jam sebelum les. Sudah siapkan buku, siapkan makan, dia datang. Turun dari motornya, memanggil dari luar. Ada yang beda? Ya. Bagaimana mungkin berangkat les cuma bawa diri dan motor?

“Ayo berangkat.”
“Lah, tasnya mana?”
“Mm… gak bawa. Kan ga les. Mau pergi.”
“Lah, bilang dong, kan bisa berangkat dari tadi. Terus ngapain ke sini?”
“Mau ke tempat les. Buruan!”

Ada orang mau les, akhirnya batal les, tapi mau ke tempat les. Orang macam apa dia?

“Kalo gak les, mau ngapain?”
“Mau nganterin! Buruan ah.”

Padahal bisa naik angkot sendiri. Di rumah kan ada motor juga, bisa minta antar. Tidak jadi aku bicara. Mau apa lagi? Sudah di depan pagar orangnya. Di suruh pulang, mana mau? Akhirnya betulan nebeng lagi hari itu.

Dengan angkot memang jauh karena lewat jalan besar. Tapi dengan motor pun tidak bisa dibilang dekat. Akhirnya aku terharu. Ter-ha-ru? Iya, sejak naik motor, masuk tempat les, selesai les, hingga tiba lagi di rumah.

Hari ini dia sedang berjuang untuk ptn-nya. Sebelumnya aku diajak untuk menemaninya membayar ini-itu, persiapan ujian. Ya, hari ini dia sedang berjuang lagi untuk yang kesekian kali demi masuk ptn. Jauuh, di tempatnya Sangkuriang. Aku tidak bisa menemani karena sungguh, itu jauh sekali. Dia juga sudah bilang ada mamanya yang ikut, jadi dia tidak sendiri.

Sebelum hari ini, dia bilang padaku. Dia bisa yakin karena mamanya. Apa dia bilang? Merasa semacam yakin. Apa ada jenis lain dari yakin? 😛

Hari ini ujiannya yang kesekian. Tulisan ini biarlah menjadi cerita sekaligus testimoni dariku. Andai aku bisa mengirim surat pada-Nya, akan aku lakukan. Aku tuliskan cerita ini, tentang orang yang membuatku terharu. Aku tahu Dia Yang Maha Melihat. Tapi siapa boleh melarangku menceritakan tentang teman yang, entahlah, sebegitu kuat hatinya mengejar keinginan. Tentang orang yang sering mengingatkanku untuk bersyukur.

Andai aku bisa mengirim surat pada-Nya, akan aku lakukan. Aku sampaikan testimoni yang panjang. Andai bisa, akan aku lakukan. Akan aku minta pada-Nya untuk menjaganya, memberinya kekuatan untuk menyelesaikan ujian. Dalam suratku, kumohon pada-Nya untuk memberinya kesempatan terbaik 🙂

Dalam penutup suratku, akan kusampaikan pada-Nya terima kasihku atas pertemuan dengannya tiga tahun yang hebat di putih abu-abu.

Ini testimoni atas seseorang yang membuatku terharu.


Untuk anak buah Sensei Dana yang sedang mengikuti SM UPI 2016
yang hampir tiap pulang sekolah atau les ditebengi
yang pakai helm saat hujan saja hahaha
yang sering melirik gerobak bakso geboy (abangnya atau baksonya? 😛 )
yang hanya ada satu di dunia.

elmo-and-cookie-monster-wallpaper-wallpaper-1 copy