Tanam-tanam ubi…
Itu sepenggal kecil lagu dari kartun milik tetangga sebelah. Tanam ubi, itulah yang dilakukan seratus lebih orang di Kebun Leuwikopo, Dramaga, Bogor. Orang sebanyak itu dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil yang jumlahnya delapan belas. Sejatinya ini adalah salah satu rangkaian kegiatan Pembinaan Himagron. Tapi kenyataannya kegiatan ini juga diikuti oleh orang dari luar AGH. Yang terdekat yaitu dari PTN (Proteksi Tanaman)—jurusan yang juga ada di fakultas hijau kami—dan yang paling jauh datang dari UNB (Universitas Nusa Bangsa) dengan tim yang anggotanya berbeda-beda jurusan. Selagi lelahnya masih tersisa dan suasananya masih terasa, kegiatan ini harus cepat-cepat diabadikan di sini.
Jebret
Jebret
Jebret
Dua jutaJargon ini bukan dibuat oleh panitia acara melainkan oleh pesertanya. Silakan bayangkan sendiri gayanya karena mudah dicocokkan dengan gerakan apapun.
Awalnya menurut tebak-tebakan, saya berpikir ini sama seperti beberapa rangkaian acara Pembinaan Himagron lain, registrasi akan dibuka jam enam tepat. Ternyata lebih cepat setengah jam. Okelah, toh kos saya dekaaat dengan pintu kampus, dekat juga dengan titik kumpul pagi itu. Sayangnya, hari itu banyak yang terlambat. Kabar baiknya adalah mereka tidak dimakan komdis.
Selesai registrasi, seperti biasa pemeriksaan perlengkapan dilakukan. Tidak ribet, kok. Payung, makanan ringan, air minum, dan sebagainya. Itu sudah biasa. Sama biasanya dengan ada yang tidak membawa pin nama lagi. Tunggu, lagi? Iya, alasannya ketinggalan karena buru-buru. Fortunately, komdis tidak selera merebus mereka. Cuma sedikiiit omelan dicampur bawang goreng.
Komdis adalah singkatan dari komisi disiplin. Setiap anak baru tingkat manapun yang pernah mencicipi ospek pasti mengenal mereka. Itulah segolongan orang yang kedatangannya dibuka dengan keheningan dan kepergiannya ditutup dengan embusan napas lega. Mereka tidak bungkuk saat berjalan dan tidak menunduk saat bicara. Satu-satunya yang bisa memaksa kapan harus makan dan kapan harus minum. Bahkan mereka bisa mengatur kapan harus tertawa. Sekilas, penokohan yang melekat pada mereka adalah antagonis. Meski begitu, karena langka dilihat, senyum komdis sering dicari.
Mobilisasi dilakukan kemudian. Tujuannya adalah Kebun Leuwikopo. Pemandunya adalah panitia yang sudah ahli melakukan perjalanan ini. Buktinya, waktu tempuh yang biasanya setengah jam bisa dihemat menjadi kurang dari lima belas menit. Mungkin itu untuk memicu rasa lapar.
Reynoso dalam Field Day ini lengkap formasinya. Tentunya sudah bertambah setelah mendapat teman baru dari jurusan tetangga. Ini adalah acara kedua sejak jumlah kami menjadi empat belas orang. Awalnya pembagian tugasnya agak jelas. Akhirnya setelah melihat lahan, garpu, cangkul, dan bibit, semua ingin merasa dan mencoba.
Ada lahan 5×5 meter, 2 garpu, 4 cangkul, 1 penyiram tanaman, dan seikat bibit ubi, dan sekarung pupuk kandang. Tidak ada yang diam. Tidak juga ada perbedaan pada perempuan dan laki-laki dalam kuasa memegang cangkul. Awalnya menggali parit, kemudian tanah galian ditinggikan ke kanan-kirinya untuk dibuat bedengan. Lalu dicampur dengan pupuk kandang. Disirami, ditanami, lalu disirami lagi.
“He, hati-hati menyiram, memangnya sini ubi?”
“Iya, ubi, soalnya sama-sama manis.”
“Waaah, makasih, makasih.”
“Tapi bau tanah.”
Gombalan ini kok berujung mengerikan, ya?
Bertani tidak pernah mudah. Kita tidak bisa asal timbun sambil berharap tanaman cepat beradaptasi dan menghasilkan apa yang kita inginkan. Contohnya waktu menanam bibit-bibit ubi, trik-triknya harus dipahami. Bibit yang ada dicabuti daun-daunnya sehingga tersisa hanya dua atau tiga daun. Mencabutnya pun harus sempurna supaya ruas-ruas yang awalnya tempat tumbuh cabang bisa ditempati para umbi. Jangan juga terlalu panjang menyisakan batang karena bisa berakibat umbi terlalu banyak. Intinya, kita sebagai manusia harus memperhatikan dengan baik hak asasi tanaman.
Menurut panduan yang diberikan, waktu panen akan tiba tiga bulan sejak penanaman. Menunggu tidak bisa sekadar duduk menghitung hari di kalendar. Karena ini bentuknya lomba antarkelompok, perawatan sebagai fase menunggu juga masuk dalam kriteria penilaian. Mencabut gulma, menyiram tanaman, dan sederet perhatian penuh pada tanaman ubi harus konsisten diberikan. Meskipun iming-iming hadiah dua juta ada, tujuan utama acara ini adalah belajar menanam ubi.
Hak asasi tanaman yaitu sesuatu yang harus diberikan manusia pada tanaman. Salah satunya adalah memperhatikan bentuknya. Manusia tidak bisa hidup seenaknya, menanam dengan sepuasnya tanpa mengerti kondisi tanaman. Tanaman memiliki energi untuk didistribusikan ke seluruh bagian tubuhnya. Semakin banyak organ maka semakin banyak energi yang harus disebar. Baiknya adalah kita mengatur supaya buah itu tidak terlalu banyak sehingga bisa besar dan subur.
Selesai acara, mobilisasi kembali dilakukan menuju tempat registrasi tadi pagi. Ini bisa jadi mobilisasi satu-satunya yang tidak diikuti tatapan dingin komdis. Bisa jadi saat itu para komdis sedang merenung tentang betapa dinginnya tatapan yang diberikan selama ini. Bisa juga sedang memikirkan jenis tatapan apa yang akan lebih menertibkan langkah-langkah kami. Atau justru sedang menyamar di antara semak, pohon, dan bak air di kebun tadi dan mengawasi? Entahlah. Ini menguntungkan. Susah juga kalau harus dimarah-marahi lepas kerja berat mencangkul tanah.
Ada-tidaknya komdis, PJK (penanggung jawab kelompok) selalu jadi yang terbaik. Bukan karena rajin menawarkan “refill air, refill air”, tapi karena cuma mereka yang posisinya sebagai kakak asuh. Di Reynoso, ada satu bagian yang setengah menjelma jadi PJK, yaitu medis. Sarapan bersama, ikut mencangkul, menanam, dan berfoto. Di tengah keakraban peserta-medis-PJK dan keseruan menanam ubi, hanya komdis yang tidak bergabung di tengah kami. Aduh, sayangnya.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.